Adsense

7 Jul 2013

Tusukan mematikan ke jantung Jogyakarta



Judul: Doorstoot naar Djokja: Pertikaian pemimpin sipil-militer.
Penulis : Julius Pour
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2009, Desember
Halaman: x, 437

Pada malam hari tanggal 4 Januari 1946 satu rangkaian gerbong kereta api tanpa lampu berhenti di belakang rumah Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Kereta itu menjemput presiden dan wakil presiden beserta keluarganya. Kemudian kereta api bergerak menuju Jogyakarta. Dua hari kemudian Jogya diresmikan sebagai ibukota Republik Indonesia.

Aksi Militer II oleh Belanda dimulai pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 pukul 00.00. Mereka menjepit dari segalah arah kekuatan Republik Indonesia (RI) di Jawa yang sudah terkumpul di Daerah Istimewa Jogyakarta dan Karesidenan Surakarta. Perancang operasi kilat Letnan Jenderal Simon Spoor, Panglima KNIL (Koninlijke Nederlands Indisch Leger) merasa yakin dapat melenyapkan RI dalam sekejap, maka aksi ini untuk konsumsi luar negeri mereka beri nama Aksi Polisional. Sebuah aksi untuk menegakkan ketertiban dari gangguan pengacau keamanan. Operasi ini diberi nama sandi “Kraai” (“kraai” dari bahasa Belanda yang artinya burung gagak).

Operasi militer oleh Belanda ini menyebabkan pertikaian di kalangan pemimpin sipil-militer RI. Mengapa?

Kanjeng Raden Tumenggung Soegito Hadipoero atau Julius pour seorang jurnalis mencoba merekonstruksi kembali potongan-potongan kertas sejarah untuk melukiskan peristiwa di seputar “Doorstoot naar Djokja”  atau Aksi Militer Belanda II. Namun beliau dengan rendah hati menyatakan masih banyak potongan kertas yang belum beliau temukan.

Di setiap generasi sesudah peristiwa tersebut selalu saja timbul pertanyaan mengapa para pemimpin sipil membiarkan diri mereka ditawan oleh Belanda? Bukankah mereka menganjurkan perang gerilya? Tetapi ketika waktunya tiba malah “menyerah”? Siapapun yang membaca buku ini, yang menurut penulisnya adalah seperti menyusun “puzzle”, dapat mencoba memahami lebih dalam sesuatu di balik peristiwa. Sedapat mungkin penulis menyertakan latar belakang atau riwayat hidup singkat para pelaku di seputar Aksi Militer II.

Bagaimana tidak pihak militer geram? Seperti dikemukakan Kolonel AH Nasution dalam nota tanggal 5 Mei 1949 kepada Presiden Soekarno yang masih di pengasingan di Pulau Bangka, bahwa para politikus lebih mementingkan kepentingan politik daripada kepentingan militer. Demi perundingan RI harus mengosongkan sejumlah kota, menerima gencatan senjata, dan “menghijrahkan” pasukan hingga mengantarkan ke peristiwa 19 Desember 1948 yang mengakibatkan ditawannya para pemimpin RI setelah mengeluh tidak adanya jaminan keamanan dalam mengikuti perang gerilya (hal. 349).

Selain pertikaian pemimpin sipil-militer ada juga beberapa pertikaian antar pemimpin sipil, maupun antar pemimpin militer. Sudahlah kita digempur, malah di anatar kita pun bertikai. Tentu peristiwa-peristiwa tersebut jarang bahkan mungkin tidak ada dalam sejarah arus utama, apalagi yang sifatnya pribadi. Contohnya betapa jengkelnya Presiden Soekarno menghadapi sindiran dan kritikan Sutan Sjahrir ketika mereka bersama-sama dalam pengasingan di Brastagi bersama-sama Agoes Salim.

Mungkin sub-bab yang kita baca terasa “loncat” seperti sepenggal cerita Ben kecil (Benny Moerdani) celingukan pada pengalaman perang pertamanya di umur 14 tahun waktu Aksi Militer II. Sub-bab lain mengisahkan terselamatkannya bayi Wiranto. Kedua-duanya kelak menjadi panglima dari seluruh tentara. Andaikata ada ketidaknyamanan, penulisnya sudah minta maaf dari awal. Kesalahan bukan by design, tetapi mungkin salah comot kertas, salah dalam mengutip pernyataan, atau menilai secara gegabah peran atau sosok seseorang. Sebelum epilog, penulis dengan pintar meletakkan peristiwa meninggal kedua panglima perang yang bermusuha. Secara mendadak arsitek “Operatie Kraai” Letjen Simon Spoor meninggal karena sakit jantung pada Mei 1949, sedangkan  Letjen Soedirman meninggal Januari 1950. Tidak lama dari peristiwa “Doorstoot naar Djokja”. Keduanya merasa “sakit hati” oleh ulah para politisi. Tanggal 1 Agustus 1949 diadakan gencatan senjata. Akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949.

Pertanyaan yang menarik selanjutnya apakah terusirnya Belanda dari Indonesia adalah perjuangan militer atau perjuangan politik/diplomasi? Hal ini dijawab oleh Kolonel Simatoepang yang menjadi sakasi dalam pertemuan anatar Letjen Soedirman dan Presiden Soekarno di Istana Presiden di ruang yang sama 19 Desember 1948 dan 10 Juli 1949 dalam suasana yang berbeda (hal. 374-375).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar